Guru Perokok dan Guru Berkata Jorok

 Ketika mendekati murid wanita, guru matematika satu ini selalu menjauhkan asap rokoknya




Ini adalah sebuah cerita sederhana dari saya ketika masih duduk di bangku SMA. Di mana saat itu guru masih aman melakukan “kekerasan” dalam mendidik siswanya. Entah itu berupa kekerasan fisik maupun verbal.

Di zaman saya dulu hal itu masih wajar, guru memukul, menjewer, menyuruh push up, atau menjemur siswa di terik matahari sambil menghormat bendera. Saya, kami, menerima hal itu. Namun, sekarang saya baru menyadari kalau memang kekerasan dalam dunia pendidikan itu tidak bisa ditoleransi. Perlu pendekatan yang arif dalam mengayomi siswa.

Ada siswa yang memang lambat dalam menangkap suatu pelajaran, jangan dicap dengan siswa goblok, bodoh, tolol. Otak manusia tidak sama, pemahaman setiap individu tidak merata. Laki – laki akan biasa saja ketika dijewer telinganya, namun apa jadinya  seorang siswi dijewer, bisa jadi menangis kesakitan dan rasa malu.

 

Guru matematika ketika saya SMA

Sekarang baru saya sadari hal ini. Dulu di sekolah saya SMA, ada dua guru matematika. Pertama berperawakan kecil, pendek, perokok dan seorang Batak sejati. Beliau mengajari saya di kelas 10 dan 11 saat itu.

Meskipun beliau merokok saat mengajar, ketika mendekati murid wanita, guru matematika satu ini selalu menjauhkan asap rokoknya. Ia paham sedikit tata kerama, meski dengan kami yang laki – laki beliau tak memedulikan asap rokoknya mengepul.

Saat menjelaskan pelajaran, beliau berusaha mengayomi. Begini, saat memasuki sesi penjelasan suatu soal, beliau akan corat coret terlebih dahulu di papan tulis, menjelaskan secara umum materi pada hari itu.

Kemudian, saat memberikan latihan soal, beliau berkeliling dari bangku ke bangku, mencari anak – anak yang malu bertanya saat penjelasan di papan tulis tadi. Sisi pendekatan yang sangat arif menurut saya, sebab tidak semua anak paham saat penjelasan umum di papan tulis tadi, bisa jadi ada anak yang  masih belum paham dan malu bertanya. Inilah sisi kearifan beliau satu ini, berusaha agar anak – anaknya paham.

 


Guru kedua, seorang guru matematika berbadan kurus tinggi, rambut mirip potongan Adolf Hitler, dan suka berkata kasar. Tolol, bodoh, otak udang, batok kelapa. Itu sudah menjadi menu utama saya ketika beliau memasuki ruang kelas. Yah, beliau hanya mengajar saya sewaktu kelas 12.

Cara mengajarnya sangat berlawanan dengan guru matematika yang pertama tadi. Guru yang kedua ini, ketika memasuki ruang kelas ruangan terasa angker, suram, mencekam. Beliau tak membawa buku paket, langsung menulis soal, tarikan spidolnya tajam, angka – angka soal yang ditulisnya seakan – akan memanah otak kami para muridnya.

Dan hal yang menakutkan pun terjadi, beliau berbalik badan. Menatap kami para muridnya yang diam pasi menunggu telunjuk saktinya mengarah ke salah satu manusia tersial hari itu. Sepertinya ia tampak menikmati kensenyapan, ketegangan, suasana kelas. Dan, ia tersenyum sambil menunjuk salah satu siswa untuk mengerjakan soal yang ditulisnya tadi.

Yah, selalu dan selalu terjadi. Kami tak ada yang langsung bisa menjawab soal yang diberikannya di papan tulis. Anak pintar pun kalau berdiri di samping beliau akan gugup, hilang segala rumus yang ada di otak akibat aura killernya itu. Apalagi yang tak paham, maka keluarlah segala jenis perkataan yang sangat tak layak didengar,”

Bodoh, tolol, otak kau tu di mana?

Tempurung kelapa.

Bodo bala

Mudah saja kata – kata itu terucap dari mulut beliau ini. Kami semakin tertekan, pikiran bukan ingin menyelesaikan soal di papan tulis, tapi, “kapan ya habis pelajaran?” Buyar. Tak ada yang memikirkan pelajaran.

 

Nah, menurut kalian bagaimana?

Posting Komentar untuk "Guru Perokok dan Guru Berkata Jorok"