Kemabo

 



Satu pucuk saja kau ambil, jangan salahkan orang mati 
akan membuat perhitungan denganmu

Siapa yang bisa memanggil orang mati kembali ke dunia lagi?

            Pertanyaan itu mungkin saja akan keluar dari mulut kalian juga, dan aku jelas sudah mempertanyakan hal tersebut sejak peristiwa itu terjadi. Aku jujur saja tak percaya takhayul, mitos, atau cerita – cerita dari mulut yang gunanya untuk menakut – nakuti saja. Tapi anehnya, bagaikan air dan minyak, aku berjodoh dengan lelaki kampung yang sangat percaya akan hal – hal bodoh seperti itu.

            Kejadian itu bermula saat ada warga kampung yang meninggal dunia. Seorang nenek yang sudah sepuh, meninggal secara wajar tanpa ada hal aneh, seperti orang meninggal pada umumnya, kalau tidak karena usia yang telah lanjut, ya masalah kesehatan yang sudah menurun. Sangat – sangat wajar. Namun, ada pantangan yang sangat kental dipegang teguh oleh orang kampung sini. Saat ada orang kampung yang meninggal dunia. Jangan ada yang pergi ke hutan untuk mengambil pakis dan rebung. Pantangan yang sangat kuat, pemali. Dan orang – orang kampung menyebut pemali ini dengan hari Kemabo.

            Orang meninggal, pemali, kemabo dan mengidam. Adalah gabungan kata – kata yang sangat tak mengenakkan dalam hidupku saat ini. Di usia kandungan yang jalan empat bulan, aku sangat ingin sekali makan rebung tumis.

            “Bukan aku yang makan, Bang. Anak kita ini!,” rajukku membela.

            Suamiku tak langsung menjawab malam itu saat kami masih berbincang di kasur di awal malam. Dia mengambil rokok lantas menyulutnya cepat.

            “Kau jangan bikin gila. Nek Uda itu baru satu hari meninggal, mana boleh kita makan rebung,” pungkas suamiku sambil menghembus asap  rokoknya.

            “Kau tak sayang aku, Bang? Rengekku lagi.

            “Pemali! Tak boleh makan rebung saat ada orang mati, Paham?!”

            Aku terdiam. Tak berani lagi membantah, padahal hati ini ingin sekali menyangkal, apa hubungannya orang mati dan makan rebung.

            Dorongan kuat untuk segera makan rebung tumis semakin menjadi – jadi. Keesokan paginya aku memberanikan diri bertanya ke ibu mertua, perihal keinginanku tersebut. Sebenarnya aku tahu, kalau di keluarga suamiku ini, sangat kuat memegang kepercayaan seperti ini. Namun, aku mencoba, siapa tahu dengan beralasan diriku yang sedang mengidam sang ibu mertua bisa luluh hatinya. Bukankah keinginan orang ngidam harus dipenuhi, ya itu juga salah satu kepercayaan orang kampung sini.

            “Makan rebung?” tanya ibu mertua tak percaya.

            Suara ibu mertua seakan menggema di seisi ruang dapur dinding kayu ini. Entah mengapa seakan tak ada yang mau mendengar kata makan rebung saat ada orang mati. Kucing lari, cicak jadi kaku, nyamuk pagi bisu, langsung hening mendengarkan ibu mertua kaget.

            Aku tersenyum dan mengangguk sambil mengelus perutku, “bukan aku, Mak. Tapi anakku.”

            “Nong..nong. Kau mengidam salah waktu. Bisakah kau tunda dulu rasa nyeramu itu?” keluh ibu mertua.

            Aku tak langsung menjawab, kubantu segera ibu mertua yang sedari tadi memotong sayur kacang panjang di atas sengkalan papan kayu.

            “Untuk orang yang nyera macam aku pun tak boleh, Mak?” melas ku lagi.

            “Nong..nong. Ganti saja ngidammu itu. Masih banyak yang bisa dinyera selain rebung tumis. Ada maram, ikan seluang, pisang tanduk.” Cerocos  ibu lagi.

            “Tapi aku mau tumis rebung.” Belaku lagi.

            Ibu mertua berhenti mengadu mata pisau dan kacang panjang di atas sengkalan. Perlahan ia meraup potongan – potongan kacang panjang tadi lantas menyimpannya ke dalam keranjang rotan. Ibu mertua lalu menatapku dalam. Ia tersenyum.

            “Kau boleh makan tumis rebung, tapi setelah tujuh hari nanti. Selepas kemabo Nek Uda habis. Puas – puaslah kau bayar nyeramu itu,” ucap ibu mertua pelan.

            Aku kembali kalah. Kalah dengan kepercayaan kolot ini. Kalah dengan takhayul yang kuat mengidap di kepala orang – orang kampung  di sini. Termasuk, suamiku, ibu mertua juga. Padahal aku sangat ingin segera makan rebung tumis, detik, menit, jam, hari ini juga. Bukan harus menunggu masa tujuh hari lagi, lepas masa kemabo. Aku tak kuat, aku tak kuasa. Nyeraku tak bisa ditunda.

                                                                        ***

            Dua hari sejak kematian Nek Uda, rasa ngidamku semakin kuat. Tumis rebung sudah terbayang – bayang di kepala. Aroma bambu muda itu terasa sudah ada menempel di rongga – rongga hidungku.

            Suami bekerja, ibu mertua ke kebun. Saat yang tepat untuk aku pergi sebentar ke hutan bambu belakang rumah. Apa salahnya hanya mengambil sepucuk dua pucuk rebung saja, bagiku yang terpenting  adalah bagaimana rasa inginku ini terpuaskan.

            Dengan berbekal parang kecil, kantong keresek hitam, akupun perlahan menuruni tangga pintu dapur. Tetap waspada berjalan, tumit tak menapak, hanya ujung – ujung sendal yang menginjak tanah basah sehabis hujan semalam. Waktu yang memang tepat untuk mencari rebung pikirku lagi.

            Tepat saat di rumpun bambu, mataku langsung tertuju ke anak bambu yang masih muda. Belum panjang, barangkali hanya dua jengkal dari permukaan tanah. Ah, benar – benar rezeki pikirku lagi. Satu rumpun dapat dua, pindah rumpun dapat empat, rumpun satu lagi dapat enam. Mudah sekali pikirku lagi. Tak seperti biasanya mencari rebung, sulit sekali. Entah apakah karena aku mencari rebung saat ada orang mati? Aku tak peduli, yang terpenting keinginanku untuk makan tumis rebung bisa tercapai. Ah enak pastinya.

                                                                        ***

            Aku merasa ada yang memukul – mukul pipiku. Semakin kuat, semakin cepat.

            “Sayang…hei...sayang.”

            Terdengar suara persis suamiku. Mataku lalu terbelalak. Seketika melihat langit – langit kamar. Kuperhatikan wajah suamiku, lantas kupaling lagi ke sudut kamar, kulihat lagi suamiku, kemudian kulirik cermin lemari.

            “Aku di kamar, Bang? Aku mimpi?” yakin ku kembali kepada suami.

            “Kamu kenapa?”

            “Aku..aku, mimpi jelek , Bang.” Rengek ku lagi sambil memeluk suamiku erat. Suara ku berat.

            Dalam pelukan sang suami aku terpejam lagi. Teringat lagi mimpi tadi, semakin kuat aku memejamkan mata untuk menghilangkan ingatan mimpi itu, semakin nyata terasa. Kian erat aku memeluk suamiku, menjadi – jadi adegan mimpi tadi. Dalam dekapan sang suami mimpi tadi seperti terulang kembali.

            Diriku terbawa ke hutan belakang rumah, hutan bambu. Seperti ringan saja aku seolah – olah melayang tanpa menapak bumi, tak bersendal, tak menjinjit, tak ada hambatan. Namun, bukan sedang mencari rebung. Aku merasakan diriku hanya menjadi penonton, orang – orang aneh dengan pakaian lusuh, wajahnya tak jelas bertutupkan keranjang rotan. Mereka tampak sibuk menyambung pucuk – pucuk anak bambu. Ada juga anak kecil yang berusaha menanam kembali rebung – rebung muda yang sudah tak berkulit. Tangannya lembut menimbun tanah di batang rebung, namun dari balik lobang – lobang keranjang yang menutupi wajah orang – orang tersebut aku bisa melihat kesedihan, air mata yang tak henti – henti menetes seakan tumpah menyirami rumpun yang mereka tanam tersebut.

            Raut wajahku menegang, kaki yang tadinya melayang sekarang terlilit pucuk – pucuk rebung. Aku berusaha ingin lari, tapi aku terbelenggu, tak bisa menjauh dari orang – orang aneh itu. Sekarang mereka malah melihat ke arahku. Lantas orang – orang itu perlahan membuka keranjang penutup kepala mereka, lalu menghampiriku. Aku teriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Ingin segela lari namun kaki terasa berat. Orang – orang itu mendekat, tanpa permisi mereka mengendusku bagai anjing di pemakaman umum. Dari mulut mereka tercium bau busuk, wajah mereka tak beraturan. Lantas perlahan mereka melucuti  pakaianku, hingga tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhku.

            Tak bisa menghindar, sebab kaki tak bisa berlari. Tangan sulit meronta. Orang – orang tadi lalu menutupi tubuhku  dengan kulit – kulit rebung yang sudah mengelupas. Aku kembali teriak namun suara tak ada. Tubuh gatal, aku menggelinjang.

            “Sayang…sayang. Kau kenapa?!”

            Aku tersadar kembali. Di pelukan suami napasku masih tersengal – sengal. Tepat sebelum azan subuh, terdengar pengumuman di masjid. Pengumuman yang akan membuat orang kampung memperpanjang masa kemabonya.

 

 Kemabo : Hari pantangan tidak boleh ke hutan mengambil pakis dan rebung, kalau di langgar maka akan ada tambahan orang mati lagi di kampung tersebut.

Nyera : mengidam

 

 

           

           

Posting Komentar untuk "Kemabo"