Dulang Hantu
Sapon tak habis pikir, setelah para petugas itu masuk ke bilik pribadi Toke Acin, wajah mereka pucat pasi, dengkul gemetar, tatapan mata kosong. Lalu cepat – cepat mereka meminum air kopi yang dihidangkan sedari tadi di atas meja tamu.
Sebesar apakah sogokan buat mereka?
Siapa yang tak mengenal Toke Acin,
seorang pengusaha tambang emas ilegal di kota S. Tak seperti perawakan toke –
toke pada umumnya yang memiliki gelambir lemak di daerah pusarnya. Lelaki
bermata sipit ini terlihat lebih mirip tawanan Cina di film Ip Man.
Tulang selangkanya menyembul, rahang bawahnya seakan mau copot dari kontur
wajahnya. Jari – jari tangannya panjang – panjang macam selang air, jangan
ditanya barisan giginya, aih..tak ada dokter gigi yang sanggup memasang kawat
gigi untuknya, sungguh tak beratur.
Ada hal yang menarik dari Toke Acin
ini menurut Sapon. Ia toke kaya yang tak memperlihatkan kekayaannya. Ada enam
lahan di daratan, dan ada delapan lanting jek di aliran sungai Kapuas. Total
pendapatannya sebulan dari hasil tambang ilegal ini tak main – main. Hampir
menyentuh delapan ratus juta per bulan. Dengan hasil yang melimpah ruah itu,
tak satu pun perhiasan bernuansa emas melekat di tubuhnya. Entah itu cincin,
kalung, atau mungkin satu gigi palsu untuk memoleskan citra gigi – gigi
hancurnya itu. Tidak, toke Acin punya cara main sendiri untuk menjadi seorang
toke, dan itu lebih dari kata sederhana.
Pernah Sapon mengira kalau uang –
uang hasil tambang banyak yang disetor ke para petugas yang menjadi bekingan
beliau, atau beberapa kepala kampung yang lahan kampungnya dikelola toke Acin.
Ternyata tidak. Bahkan dari desas – desus yang Sapon dengar dari angin semilir kapuas dan bisik –
bisik daun bambu, malah para oknum aparat dan para petinggi kampung tak berani
atau bahkan menolak uang dari toke Acin.
Seperti malam itu, Sapon diajak
toke untuk berdiskusi dengan beberapa kepala kampung yang sudah berada di rumah
sang toke. Memang rencananya toke akan membuka lahan baru lagi di kampung hilir
kota S. Diskusi seperti ini memang perlu untuk sebuah mufakat dan amplop
perekat.
“Toke tenang saja, daerah kita
aman. Tak ada orang gila yang suka menggila,” bisik salah satu petinggi
kampung.
“Kalaupun ada orang gila, maka aku
juga akan lebih gila,” ujar toke dengan mimik datar.
Sang kepala kampung menelan ludah.
Hal yang selalu Sapon lihat.
Setelah selesai berdiskusi di ruang tamu, toke Acin selalu mengajak orang yang
diajak diskusi untuk masuk ke kamarnya. Entah apa yang dilakukan Sapon pun
sulit mengira saat itu. Namun, hal aneh selalu saja terjadi, setelah masuk ke
dalam bilik tadi, tahu – tahu para petinggi kampung diam macam orang demam.
Muka pucat, kaki celana bergetar, keringat bercucuran. Lantas mereka akan izin
pulang dengan segera setelah menyeruput kopi yang dihidangkan.
Sapon pernah mencoba bertanya
kepada toke Acin perihal orang – orang yang berdiskusi dengan bosnya itu. Toke
hanya menatap Sapon dengan wajah datar, lantas tersenyum.
“Nanti kau akan aku caritakan, saat
waktunya tepat.”
Sapon hanya bisa berharap waktu
yang tepat itu akan segera datang. Ia masih penasaran gaya sederhana sang toke,
raut wajah orang yang keluar dari kamar bosnya itu, dan desas desus yang
dibawakan angin. Terkadang Sapon sampai berpikir aneh – aneh, apakah toke
memiliki ilmu yang dibawanya dari tanah leluhur. Cina Kalimantan dikenal
memiliki ilmu kuat, lihat saja saat tahun baru Imlek, mereka ada yang berdiri
di bilah parang, menusuk pipi dengan besi runcing, menjilat mata pedang. Semua
hal – hal berkenan dengan kekuatan misterius itu Sapon kaitkan dengan toke Acin
bosnya itu.
Hari yang ditunggu Sapon pun tiba.
Malam itu sedikit hujan, dan toke Acin lagi – lagi memintanya menemani untuk
berdiskusi dengan seseorang. Kali ini bukan kepala kampung, namun oknum pejabat
kepolisian. Datanglah pejabat tadi ditemani dua pengawalnya. Mereka tampak
berpakaian ala orang biasa. Sapon tersenyum sinis, memikirkan kata batinnya
yang lucu. Saat berpidato tentang keadilan, kejujuran, orang di hadapannya ini
rapi dengan setelan kenegaraannya. Seakan manusia paling patuh menegakkan
keadilan. Ingin berwibawa di mata rakyat. Namun, untuk berdiskusi dengan
tokenya, mereka harus menanggalkan semua atribut kejujuran, keadilan itu semua.
Seakan mereka ingin mengatakan, kalau berpakaian seperti rakyat, kami bebas
melakukan kejahatan.
“Hujan pun kalian turun ya?” tanya
toke Acin memulai diskusinya.
Padahal Sapon tahu maksud bosnya
itu. Pertanyaan yang seharusnya malu didengar dan tabu untuk dijawab untuk
orang – orang berpangkat seperti mereka.
Tiga oknum polisi tadi hanya
tersenyum simpul.
“Pak Acin tenang saja, anak – anak
kami tak akan ada yang menggila di kawasan ini. Kalau pun ada yang menggila,
itu hanya seremonial agar ada berita dengan teman – teman media.
“Apakah aku harus bayar juga mereka
yang menggila?” Toke menyelidik.
“Tak perlu, Pak Acin. Itu bisa dari
kami. Namun, Pak Acin tentu lebih paham. Kami ke sini tadi tentu pakai
kendaraan pribadi, uang minyak pribadi. Tak ada ditanggung negara.” Ketiga
oknum tadi tergelak tawa.
Toke Acin hanya tersenyum
menyembunyikan barisan giginya yang tak rata.
Sapon kembali tersenyum sinis.
Baginya itu hanya akal – akalan mereka saja. Biasanya juga mereka akan berfoya
– foya dengan kendaraan dinas. Hanya saja karena mereka tahu, dan akan berharap
yang lebih dari toke sehingga bicara seperti itu.
Namun, senyum Sapon tak bertahan
lama, sebab hal yang ditunggu – tunggu akan terjadi. Ya, setelah bercanda ria
dengan berbagai humor paling menjengkelkan dari mulut pejabat itu, tibalah saat
toke akan mengajak mereka masuk ke dalam bilik pribadinya. Bagi ketiga oknum
polisi saat ini merupakan hal yang diidam – idamkan, namun tidak bagi si Sapon.
Sapon menunggu wajah – wajah kusut, keringat malam yang dingin, kaki – kaki
celana yang bergetar hebat. Itu kejadian yang langka untuk seorang pejabat di
rumah seorang rakyat.
Benar saja setelah keluar dari
bilik sang toke Acin. Ketiga polisi tadi terdiam. Seandainya kening mereka
bertiga ditusuk denga jarum, maka tak akan mengeluarkan darah, saking pucatnya.
Mereka tak menggigil karena hujan, Sapon tahu betul itu. Senyum Sapon merekah
saat menebak kaki celana mereka yang bergetar hebat. Tepat. Ketiga Polisi tadi
cepat – cepat keluar, lalu duduk.
“Pak Acin, kami pastikan aman. Kami
tak akan menggila. Dan jangan buat kami gila, Pak.” Melas salah satu polisi.
“Jadi, sekarang sudah beres ya.
Terima kasih sudah rela datang hujan – hujan ke rumah ini. Walaupun kalian
hanya dapat air kopi.” Senyum toke Acin.
“Kopi ini lebih baik dari apa yang
akan terjadi selanjutnya, Pak.” Ucap salah satu polisi pelan.
“Oh, tentu. Tenang saja. Selama
kalian tidak menggila. Aku tak akan gila.” Ucap toke tenang.
Ketiga polisi tadi lantas pulang
dengan basah kuyup. Ditemani menggigil yang tak hilang mereka raib ditelan
malam.
“Sapon, kemari!”
Sapon yang baru saja menutup pintu
depan, buru – buru menghampiri tokenya itu.
“Kau ingin tahu, rahasia selama
ini?” tanya sang toke.
Sapon terdiam tak percaya. Lantas,
tahu – tahu ia sudah ada di bilik pribadi bersama si toke Acin.
“Kau sengaja tak memasuki gula ke
minuman mereka tadi?” tanya toke Acin.
Sapon terdiam sesaat. Dari mana
bosnya itu tahu kalau dirinya memang sengaja tidak memasukan gula ke dalam
minuman tamu tadi, sebab Sapon berpikir ketiga oknum tadi tak akan meminum
kopinya itu.
“Toke tahu dari mana?” selidik
Sapon canggung.
“Lihat ini.”
Toke Acin lalu menyodorkan sebuah
dulang kayu yang sudah usang. Ya, sebuah dulang emas yang sudah lusuh. Toke
menarik Sapon lebih dekat.
“Lihat ke dalam dulang ini. Apa
yang kamu lihat?” Perintah toke lagi.
Entah sihir atau apakah itu. Sapon
melihat dirinya ada di dalam dulang kayu itu. Seperti rekaman CCTV, ia tampak
tengah membuat kopi di dapur sang toke. Adegan demi adegan,sampailah saat
dirinya tak memasukan gula ke dalam minuman tamu tadi.
“Lihat. Kau tak memasukan gula ke
munuman tamu – tamuku. Apakah kau masih mau bekerja denganku, Pon?”
Sapon terdiam. Inikah yang dilihat
orang – orang yang memasuki bilik toke selama ini. Bagaimana dengan uang
belanjaan yang ditilapnya kemarin, anjing toke yang dipukulnya dua hari lalu.
Sial, Sapon terpaku. Tak bisa bicara. Bulu – bulu di pundaknya seperti berlarian. Mukanya menebal, rasa
ingin kencing semakin kuat. Bukan, bukan hanya ingin kencing, Sapon juga ingin
buang air besar. Tempurung lututnya seperti mesin dompeng, bergetar hebat.
“Aku masih memaafkanmu, Pon.
Buatkan aku kopi sekarang. Gulanya sedikit!” perintah toke.
Posting Komentar untuk "Dulang Hantu"