Sapi Mati
Oleh : Dodi Goyon
“Seandainya
yang berkeliaran itu pemiliknya, pasti ia akan bisa membaca, Put. Namun, kita
salah, sapi – sapi tak bisa membaca. Kebijakan yang baguspun, kalau tidak bisa dibaca
oleh yang menerima kebijakan, sama saja dengan Nol.” Lanjut Pak RT.
Sapi
– sapi itu bersimbah darah. Bau anyir semerbak di penjuru kebun sawit.
Pembantaian. Memang cocok disebut dengan pembantaian. Lihat saja induk sapi
yang lebih besar itu, seperti menanggung semua kebengisan. Kepalanya putus,
dibelah lagi menjadi dua tepat di antara tanduknya yang panjang. Bola matanya
picak. Coba, perhatikan lagi tubuhnya, tak ada tukang daging yang rela bila
melihat sayatan – sayatan tanpa belas kasih ini. Dan di ujung bagian tubuh sapi,
seperti penghujung aksi sang pelaku, ia menutup kebiadabannya itu dengan
potongan – potongan kecil ruas ekor sapi. Jangan tanya sapi – sapi yang lain,
betina, muda, tewas. Ada 14 sapi yang menjadi korban semalam.
***
Langkah
kaki Putra seperti saling mendahului antara kanan dan kiri. Napasnya macam
ikan yang baru diangkat dari air. Kali
ini ia menghampiri rumah pak RT, sebab belum ditemukan orang yang bisa
memberikan informasi kepadanya. “Kalau memang ngak ada yang mau jadi saksi
karena takut, aku lapor saja!” gumamnya sambil terus mengatur napas.
Putra
tak rapi bersila, seperti ada sesuatu yang mengganjal di bawah diafragmanya. Di
teras rumah pak RT, ia hampir saja meluapkan semua kemarahannya. Untung saja
secangkir teh buatan istri pemimpin kampung itu sedikit membuatnya reda.
“Memangnya
berapa bibitmu yang dimakan sapi, Put?” tanya pak RT pelan.
Putra
merapikan posisi duduknya, terasa sekarang perutnya lebih tenang karena dadanya
juga tak memberontak lagi.
“Banyak,
Pak. Aku hampir nangis pas lihat di kebun tadi,” jawabnya kesal dengan raut
wajah sedih.
Pak
RT menyeruput teh, lalu menyulut sebatang rokok putih. Perlahan api membakar
tatkala pipi kepala kampung itu kempis menghisap. Asap mengawang, melewati
kepala dan wajah mereka berdua.
“Kau
tenang saja, jangan gegabah dulu.” Tenang Pak RT.
“Tidak
Pak! Kalau bapak tak buat kebijakan cepat untuk sapi – sapi bangsat itu, aku
tak tinggal diam.” Kembang kempis dada Putra.
“Lalu
kau mau aku seperti apa?” asap rokok Pak RT seakan menantang keluar bersamaan
dengan suara dari mulutnya.
Putra
terdiam, sejenak. Diperhatikannya dalam air teh yang tak lagi pekat.
“Aku
ingin, bapak buat kebijakan yang menguntungkan petani sawit.” Jawab Putra
kemudian.
Pak
RT terdiam lalu tersenyum, “kau kira aku kepala dinas perkebunan yang mengurusi
kebun sawit orang – orang kampung, atau semacam ketua balai peternakan yang
mengakomodir urusan peternak sapi? Aku hanya ketua RT yang diamanahkan warga
untuk curhat, dan sekarang aku dengar curhatmu, Put.”
Putra
terdiam, dia ingat kala itu saat pemilihan ketua RT. Memang sebenarnya orang
yang di depannya saat ini berusaha untuk tidak mau dipilih warga untuk menjadi
seorang pemimpin kampung atau ketua RT. Namun, ia dan warga kampung lah yang
memaksa orang tua itu sekarang menjadi ketua RT.
“Bapak
kan, paling tua di kampung ini.” Tetiba Pak RT menirukan suara – suara warga
saat itu.
Putra
tersentak oleh ingatannya.
“Bapak
kan, yang sudah lama hidup di kampung kita ini.” Pak RT melanjutkan.
Putra
menahan napas.
“Kalau
bapak tak bisa membuat kebijakan pun tak masalah, ada tempat kami curhat saja
kami senang, Pak.” Tambah Pak RT sambil mendekatkan mulutnya ke arah Putra.
Mata
putra melotot, urat lehernya menegang, udara yang masuk paru – paru sedikit –
sedikit. Buru – buru ia menyeruput teh lagi. Tak berani ia menatap mata
pemimpin kampung di depannya. Sebab yang barusan adalah kata- katanya dulu.
“Lalu,
bagaimana, Pak? Bagaimanapun bapak punya hak untuk bertindak.” Lirih suara
Putra kali ini.
Pak
RT kembali tersenyum. Bara di ujung rokoknya semakin hangat ingin bertemu
bibir, kian pendek, lebih cepat kembang kempis pipinya, tambah mengepul asap di
antara manusia itu.
“Kau
pulang saja. Besok aku buatkan edaran untuk kejadian ini, kita tempel spanduk –
spanduk di dalam kebun – kebun. Intinya kita peringatkan dulu para pemilik sapi
– sapi itu. Dan kau, tolong bantu aku pasang.” Instruksi Pak RT singkat.
Putra
mengangguk paham.
***
“Aku
sudah tak tahan, Pak. Bapak tahu? Bibit – bibit sawitku yang baru itu habis
lagi dimakan sapi bangsat itu. Bangsat! Rugi aku, Pak.”
Putra
kembali mengadu ke rumah Pak RT. Bukannya mendapat durian runtuh, Putra kini
mendapatkan kemalangan beruntun setelah satu minggu pemasangan spanduk edaran
dari Pak RT.
“Terus?”
tanya Pak RT datar.
“Bapak
harus bertindak yang lebih tegas.” Melotot putra.
Kali
ini tak ada teh, yang menenangkan Putra. Kerusakan bibit – bibit sawit yang
baru ditanamnya akibat sapi – sapi itu semakin membuat dadanya bergemuruh.
“Bukannya
kemarin sudah aku bertindak, dan kau juga ikut andil bukan?” kilah Pak RT.
“Sudah,
memang sudah, Pak. Tapi bapak lihat lagi, sapi – sapi itu seperti penyamun yang
datang mencuri tanaman milikku, Pak.”
“Jadi
menurutmu edaran saja tidak cukup?” lagi – lagi Pak RT suka mengajukan
pertanyaan yang seakan menantang warganya macam Putra.
Putra
menatap Pak RT dalam. Tak pekat, sebab yang dilihatnya sekarang bukanlah teh
buatan istri Pak RT, namun dalam ke arah bola mata pemimpin tua itu.
“Kita
cari siapa pemilik sapi – sapi itu, lalu kita lapor ke Polisi, jujur Pak,
edaran bapak ternyata tak mempan untuk sapi – sapi itu.” Usul Putra.
Pak
RT terkekeh.
“Kau
kira sapi – sapi itu bisa membaca?” Pak RT masih tergelak.
Putra
yang harus bingung, antara percaya dan tidak dengan pernyataan orang tua di
depannya sekarang. Bukankah beliau yang membuat edaran itu kemarin dan
mengajaknya untuk memasang di setiap sudut kebun sawit. Candaan macam apa ini.
Putra semakin merasa dipermainkan oleh ketua RT di depannya.
“Bapak
tertawa dengan kebijakan yang bapak buat sendiri? Betapa bodohnya, Pak?” yakin
Putra dengan menahan emosi.
“Seandainya
yang berkeliaran itu pemiliknya, pasti ia akan bisa membaca, Put. Namun, kita
salah, sapi – sapi tak bisa membaca. Kebijakan yang baguspun, kalau tidak bisa dibaca
oleh yang akan menerima kebijakan, sama saja dengan Nol.” Lanjut Pak RT.
“Ah
bapak memang pemimpin yang hanya bisa menampung curhat warganya. Tak bisa
memberi solusi.” Gerutu Putra.
Kali
ini Pak RT terdiam. Ia menatap Putra dalam. Kembali mulut tuanya mengeluarkan
pertanyaan tantangan kepada warganya semacam Putra, “lalu, kau mau aku bagaimana
lagi, Put?”
Putra
yang sudah mulai paham akan cara main komunikasi pemimpinnya ini, lalu
tersenyum. Kali ini bagaikan adegan di film – film mafia, perlahan Putra meraih
bungkus rokok Pak RT, lalu menarik satu batang dan mengarahkannya ke mulut Pak
RT. Lalu disambut oleh bibir tua kepala kampung itu, korek api menyala dan
disulut oleh Putra. Pipi tua kepala kampung itu merasa manja atas tindakan
warganya yang melayaninya barusan. Kembang kempis pipi menghisap. Ujung rokok
menyala, kian memerah, asap tambah pekat. Dua orang tadi lalu tertawa bagaikan
merayakan suatu kesepakatan yang sangat langka.
Posting Komentar untuk "Sapi Mati"