Cerpen # Jarai dan Cinta
Tidak
seperti biasanya ,di atas meja kerjaku tergeletak Jarai, keranjang besar dari rotan. Berdesakan
dengan tumpukan file dokumen yang nampaknya agak risih berhimpitan. Meja di
ruangan kantorku tidak terlalu besar , jadi wajar kalau Jarai itu telah menjadi sorotan utama sore ini.
“Lapor
Pak, ada seorang tahanan pencurian yang kami amankan di ruang sel, mohon arahan
berikutnya,’’ lapor seorang polisi muda .
Aku
tertengun sebentar, mataku masih menatap
Jarai di mejaku. Lusuh, kumal, dan
sedikit bau. Bau keringat.
“Baik,
saya yang akan ke sana untuk melihat langsung,’’ jawabku tegas.
Derap
sepatuku bersahutan menyusuri lorong ruangan menuju sel. Sesekali sapaan Pak, dari
setiap polisi muda yang berpapasan muka denganku. Aku hanya tersenyum kaku
menjaga wibawa.
Tepat
di muka pintu sel, aku berhenti sejenak. Sorot mataku tajam, tak banyak objek
yang ditangkap lensa mataku. Sedikit cahaya di sini.
Polisi
muda yang berjaga membuka pintu sel. Berat sekali pintu sel terbuka. Pintu yang
penuh beban memikul amanah menjaga para tahanan.
“Ini
tahanan pencuri itu?,’’ tanyaku kepada polisi muda yang berjaga.
“Iya
Pak, dia ditangkap di sebuah counter ingin mencuri handphone,’’ jawab polisi
muda menjelaskan.
Hidung
Intelejenku bekerja. Hidung yang mendata rekam jejak yang pernah di hirupku
tadi. Aroma itu, ya bau keringat tahanan ini. Pasti dia pemilik Jarai di
mejaku tadi.
Bajunya
lusuh, celana trening hitam. Telapak kaki terlihat kepalan, kasar ,tumitnya
pecah pecah. Kumisnya sudah bercampur uban. Aku perkirakan orang ini pekerja
keras, dan usianya kira-kira lima putuh ke atas.
Aku
memang seorang Polisi, tapi jiwa kemanusiaanku masih ada. Aku kasihan, iba. Mengapa
orangtua seperti ini ada di tahanan?
Kuhampiri
dia, bau keringatnya bertambah lekat di hidungku.
“Namanya
siapa pak?,’’ tanyaku memecah keheningan.
“Da..aa..yat
pak,’’ jawabnya sedikit bergetar.
Nampaknya
dia masih takut, gugup melihat dua Polisi di depannya.
“Saya
Wawan pak,’’ jawabku tersenyum memperkenalkan diri.
Pak
Dayat hanya tersenyum sekilas. Dia masih takut
*** *** ***
Dokumen
dan beberapa kertas yang berada di atas mejaku sekarang bisa bernafas lega.
Mereka tidak diusikkan oleh benda asing yang berbau keringat lagi. Jarai sudah
dipindahkan di samping pintu ruanganku.
Tapi,
sekarang aku yang sesak....
Pak
Dayat duduk berhadapan denganku. Kami hanya dipisahkan oleh meja jati
beralaskan lempengan kaca tebal. Sesi Introgasi sekarang.
Suasana
segaja kubawa lebih cair. Tidak kaku, kutahu pak Dayat masih gemetar. Aku paham
gemetar suaranya, seperti orang yang demam panggung. Pasti dia baru pertama
kali ke kantor Polisi.
“Bapak
Petani?,’’ tanyaku memulai pertanyaan.
“Iya
pak..,’’
“Pak
Dayat, jadi benar bapak yang mengambil handphone di counter tadi siang?,’’ tanya
ku pelan.
Pak
Dayat diam. Sorot matanya sayu, kelopak matanya mulai menebal di bagian bawah. Sekilas
kulihat genangan bening yang menutupi pandangan rentanya.
Tak
sanggup aku melihatnya. Aku berusaha menahan sesak di dada, perasaan yang akan
membawa berlinangnya air mata.
“Saya
bukan pencuri pak, saya terpaksa,’’ jawab pak Dayat.
Suaranya
masih parau. Mungkin ada perasaan yang berkecamuk dipikirannya. Perasaan yang
menjadikan kering tenggorokan. Keringat dingin, namun panas di dalam badan.
“Jadi
mengapa bapak sampai terpaksa mencuri?,’’ selidikku lagi.
“Julia....Julia....’’
Aku
tak mengerti jawabannya. Sebuah nama.
“Siapa
Julia pak...?,’’ tanyaku penasaran.
Pak
dayat tak menjawab langsung. Kini sorot matanya berubah tajam. Namun masih
berkaca- kaca. Ada amarah yang ditahan sepertinya.
“Julia.....anakku,’’
“Anak
bapak....?’’
Aku
masih bingung. Apa korelasi antara kasus ini dengan Julia.
“Memang
ada apa dengan Julia pak?,’’ selidikku lebih dalam.
“Julia
ingin punya handphone. Dia paksa saya untuk beli ,tapi saya tidak punya uang,’’
jelas pak Dayat lebih dalam.
Mulai
terang kasus ini sekarang.
“Saya
sudah berusaha merayunya. Tapi apa....dia minta pulang dari jualan ubi,
handphone harus sudah ada, kalau tidak dia lari dari rumah,’’ tambah pak Dayat.
Kini
air matanya lebih deras mengalir menyusuri kerutan kerutan pipinya yang menua.
Tak mungkin harga ubi cukup dengan seketika untuk membeli Hp yang harganya
mahal.
Sekarang
aku yang merasa sesak, dada ini sempit terasa. Ingin marah rasanya mendengar
cerita pak Dayat.
Anak-anak
sekarang memang tak tau diri. Lebih mementingkan gaya hidup. Tanpa memedulikan
nasib orangtua, mampu atau tidak. Tidak ada lagi cinta bagi mereka. Cinta hanya
bualan dikala pacaran. Mereka lupa Cinta orang tua lebih besar dari segalanya.
“Apakah
salah saya pak, saya hanya ingin anak saya senang?’’
“Bapak
tidak salah dalam hal keluarga bapak, tapi..’’
Aku
terdiam. Tak mampu melanjutkan kata-kataku. Bingung. Mataku terus menatap
telapak tangan Pak Dayat yang tampak keriput. Ingin rasanyaku menangis.
“Pak
polisi jangan penjara saya pak...kasian Julia.’’
Ya
ampun, dadaku semakin sesak mendengar permintaan pak Dayat yang penuh harap.
Pilu mendengar kepedulian seorang bapak yang tak rela ditangkap demi
menyenangkan hati anaknya.
Anak
macam apa Julia ini. Orang tua bela belain mewujudkan keinginannya, walau harus
mencuri. Sedangkan dia pasti sedang berleha - leha di rumah sana. Aku
menggerutu sendiri.
Terkadang
anak tak perduli usaha orang tuanya , yang dia inginkan hanya kemauannya
terpenuhi.
“Pak
Dayat, untuk saat ini bapak saya maafkan, mengingat keterpaksaan bapak sekarang,
bapak tidak saya tahan,’’ jawabku pelan.
“Sungguh
Pak Polisi....?,’’ tanya Pak Dayat tak percaya.
“Iya
pak..,’’ aku mengangguk yakin.
Pak
dayat berdiri dari kursi dan segera bersujud di lantai.
“Terima
kasih tuhan, ....maafkan Julia...,’’
Kali
ini mata yang biasanya gagah bewibawa, luluh lunak di basahi air mataku.
Pemandangan yang hampir baru kali ini aku saksikan. Belum lagi do’a yang
diucapkan pak Dayat.
Julia.
Pak Dayat tak lupa meminta maaf kesalahan Julia putrinya kepada tuhan. Doa yang
tulus dari orang tua kepada anaknya.
Doa
yang terbungkus oleh cinta. Mengiringi sujud seorang bapak tua berbaju kumal.
Tak peduli ia, bahwa karena keinginan anaknyalah dia berada di kantorku saat
ini.
**** **** ***
Bentuk,
rupa, dan bau Jarai sore tadi membuat mataku sulit terpejam malam ini.
Pertemuan yang sangat bermakna.Meski dokumen-dokumen di kantor pasti protes
bila aku memikirkannya.
Ada
setumpuk cinta yang terbawa oleh Jarai tadi. Walaupun si Jarai identik dengan
kelusuhan, kampungan, kuper. Tapi di dalam selipan anyamannya terdapat cinta
yang sulit dipisahkan. Erat sekali cinta
itu. Merajut kasih sayang antara orang tua dan anaknya.
Inilah
cinta . Dia tak mengenal kampungan, dia tak mengenal lusuh. Tapi cinta akan
mengikat segalanya./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # Jarai dan Cinta"