Cerpen # Emas Putih
Emas Putih
Oleh : Dodi Goyon
Aku tak tahu diskotek atau tempat hiburan malam. Karena
pergaulanku juga sebatas di kampung saja. Hanya sekadar mendengar alunan musik
dangdut dari rumah tetangga yang acap kali disetel tanpa melihat jam. Sekarang
anehnya, musik – musik ini ada di tengah hutan yang notabene jauh dari kampung.
Sebelumnya tak tahu menahu musik – musik disko, sekarang telingaku ramah
mendengar.
Jangan membayangkan tempat yang mewah seperti yang biasa
terlihat di tv. Hanya berbentuk tenda dengan atap dan dinding menggunakan
terpal tebal. Dindingnya hanya setinggi badan. Di dalamnya, pada tepi tenda disiapkan bangku seadanya dari bambu yang ukurannya dipaksakan
hanya cukup dua pantat saja. Katanya bangku mesra.
Tak ada hiburan lain membuat manusia di tenda ini
bagaikan benih padi di lubang tugal. Ramai bukan kepalang. Berdesakan bukan
kira main. Kening setentang kening, lutut setentang lutut.
Tapi itu hanya di malam hari.
Siang hari manusia – manusia akan bermandikan lumpur,
bagai babi yang habis mabuk semalaman. Tak ada musik disko. Telinga akan pekak
dengan suara mesin yang menyalak. Kalau tadi malam tubuh menari, berjoget
sesuka hati. Kini hanya pergelangan tangan meliuk – liuk memainkan tarian
dulang.
“Woi...bawa pipa!’’
“Oii...pipa pecah!’’
“Boiii...makan!’’
“Coii...angkat mesin!’’
“Awas tanah!’’
Tak banyak suara – suara keras selain teriakan di atas.
Selebihnya manusia di kolam lumpur akan saling berbisik. Memberi kode. Lirikan.
Tarikan alis. Lemparan batu. Deheman. Kedipan mata. Yah, semua menjaga. Ada
sesuatu yang mereka sembunyikan.
***
Aku pemain baru di pekerjaan ilegal ini. Pekerjaan yang
sebenarnya terpaksa aku lakukan. Berlumpur, berendam selama berjam – jam. Di
tengah hutan begini sepi, sunyi, siapa yang mau sebenarnya.
Kerja parit kata teman dulu. Kukira bekerja mebersihkan
parit. Ternyata hanya kiasan saja, rupanya bekerja sebagai penambang emas
ilegal.
Jauh dari keluarga menjadi alasanku dulu menolak. Belum
lagi masa – masa bujangan seperti ini butuh hiburan dan senang- senang. Bukan
malah bekerja di tengah hutan. Pikirku dulu.
Tapi sekarang, aku semangat. Lupakan alasan yang pernah
aku utarakan dulu. Bagi hasil seminggu bisa sampai satu juta setengah. Memang
bagus kata mereka tempat ini, berjodoh bahasa toke. Belum lagi hiburan malam
dengan musik – musik diskonya. Sudah mematahkan anggapanku dulu yang merasa
sunyi. Siapa yang tak betah.
Satu lagi. Di sini juga ada emas putih. Emasnya para
hidung belang. Mereka akan di dulang pada malam hari. Menari bersama emas putih
merupakan kepuasan tersendiri. Apalagi bila dapat bercumbu menikmati kilaunya.
Aku sebenarnya tak mengerti apa itu emas putih. Polos
sekali pertama kali bekerja parit ini. Dengar saja bagaimana teman – teman membicarakannya.
“Bosanlah makan daun ubi terus. Sekali – kali makan
enak.’’
Kutebak mereka membicarakan makanan. Lalu dilanjutkan
lagi percakapannya.
“Makan apa malam ini?’’
“Emas putihlah, bosan yang di rumah daun ubi tumbuk
terus,’’ jawab teman yang lain seraya tertawa lepas.
Aneh. Bukan?
Daun ubi, emas putih. Di mana hubungan makanan di antara
keduanya. Sebulan lebih aku di sini baru tahu, itu hanya istilah. Kode rahasia.
Malam ini aku akan mencoba makan enak. Tentu perut sudah
kenyang karena bukan makanan yang dicari. Di tenda terpal itu. Pasti bergaul
dengan hiruk pikuk musik disko di situ. Akan kucari yang paling enak, berbumbu
dan sedikit pedas. Karena ini makan malam kedua. Harus yang spesial.
Cahaya di tenda hanya remang – remang terlihat. Kutatap
semua manusia yang ada. Teman – temanku sudah membawa makanannya di bangku
mesra. Berhimpitan mereka di sana walau tempat duduk sulit untuk berdua.
Beringas betul mereka. Padahal aku tahu mereka punya
istri di kampung sana. Ada juga yang menari bersama emas putih di tengah –
tengah tenda. Entah tarian apa. Hanya kepala
bolak – balik mengangguk cepat. Jelas bukan tarian dulang.
Mata ini masih mencari emas putih yang diincar. Malas
juga ikut berjoget gila di tengah tenda. Kuharap malam ini harus dapat.
Itu di sana. Ada emas putih nampaknya. Cantik. Sendiri.
Wah, benar – benar putih.
***
“Aku mau menari dulang bersamamu, tapi kau harus penuhi
syaratnya bila mau menari bersamaku,’’ emas putih itu bertutur.
“Aku bawa kok, sudah kutabung. Asal kau tahu ini
sebenarnya uang untuk dikirim ke kampung. Demi menari dulang bersamamu malam
ini aku tunda dulu,’’ jawabku penuh nafsu.
Emas putih di depanku hanya melirik sekilas ke arah
lembaran merah di tanganku. Tak bernafsu.
“Siapa namamu tadi?’’ tanyanya meyakinkan lagi.
“Rusdi!’’
“Rus, kau benar – benar ingin bercinta denganku malam
ini,’’ tanyanya seakan tak percaya gairah
yang nampak di wajahku.
“Apa harus aku jawab lagi?’’
“Kau pekerja baru di sini. Sebaiknya malam ini kau pulang
saja. Dan tanyakan temanmu apa syarat bila ingin menari dulang bersamaku,’’
jelas emas putih.
Sial. Gairah sudah menyala – nyala. Malah tertunda malam
ini.
Siapa sih emas putih ini. Belagunya ia. Mentang – mentang
cantik, bohai. Seenaknya menentukan syarat.
Ok. Malam ini aku gagal. Belum tahu syaratnya. Tapi emas
putih tadi sudah menjadi sasaran tetapku untuk makan malam kedua.
***
“Kau gila Rus, aku saja tak berani berkencan dengannya.’’
“Memang kenapa, makanya aku tanya kamu apa syarat wanita itu?’’
Aku masih tak paham. Memang pada malam itu seingatku tak
ada laki – laki lain yang berani mendekati emas putih sasaranku. Tapi mengapa?
“Namanya Yani. Dia salah satu primadona di antara emas
putih yang ada. Kamu harus tahu Rus, dia itu emas putih milik para toke. Jangan
mimpi bisa menari dulang dengannya,’’ jawab temanku lagi.
Yani, emas putih milik para toke. Itu sebabnya ia menolak
aku tadi malam.
“Tapi, aku ada bawa uang juga tadi malam. Lalu dia hanya
melirik remeh ke arahku. Yani bilang kalau dengan dia bukan dengan uang. Kamu
tahu apa syaratnya?’’
Temanku hanya terkekeh. Tak peduli ia aku yang masih
bingung di hadapannya.
“Dasar anak baru. Rus, hanya toke yang mampu. Kamu
janganlah main sama Yani, masih banyak emas putih lain. Berat syaratnya,’’
jawab temanku kemudian.
“Memang apa syarat Yani, aku ingin sekali menari dulang
dengannya!’’
Temanku hanya menatap tajam. Bola mata sang pendulang
yang garang mengicar kilau emas.
“Syarat Yani...’’
“Apa, cepat bilang!’’
Mata temanku sekarang kosong, ia masih meliuk – liukkan
dulang di tangannya. Terasa sepi sesaat bunyi mesin ketika menunggu jawaban
darinya. Riak air di kolam lumpur juga tenang seakan berusaha mencuri informasi
yang akan keluar dari mulut temanku.
“Emas Kuning, itu syaratnya.’’
“Apa...?!,’’
Kini pendengaranku kembali mendengar gaduh
riuh mesin dan semprotan air.
“Iya, Yani minta bayaran emas kuning lima gram bila ingin
menari dulang dengannya.’’
Gila. Semahal itukah.
“ Rus, emas kuning itu memang benar – benar emas. Tidak
boleh diuangkan. Paham.’’
Emas putih dibayar emas kuning. Luar biasa. Aku tak tahu
apakah itu akal – akalan Yani mengeruk para toke pemilik tambang di sini. Atau
bisa jadi pancingan toke, yang sengaja memperkerjakan Yani untuk mengetahui
anak buahnya yang bermain kode saat di kolam kubangan. Sungguh liar.
Untuk kami anak buah seperti ini siapa yang sanggup
menari dulang dengan Yani. Belum lagi
harus mengirim uang kepada keluarga setiap bulan. Nampaknya aku mesti berpikir
ulang untuk menari dulang dengannya.
Terlepas dari itu semua, Yani memang cantik. Tak akan ada
yang menolak bila sampai diajaknya berkencan. Tapi nasib. Menggali emas
bercangkulkan intan./DG
Posting Komentar untuk "Cerpen # Emas Putih"